Bersatunya Masjid NU dan Sekolah Muhammadiyah.
Beberapa hari lalu, cuaca buruk
mengiringi perjalanan kami dari Bandung menuju Kota Malang. Bukan Bandung Jawa
Barat yang kami maksud, lebih tepatnya Kecamatan Bandung, Tulungagung.
Kebetulan kami memiliki kawan baik yang tinggal di Bandung, Tulungagung. Bolehlah
mampir sejenak untuk bersilaturrahim, walau tujuan kami sebenarnya ingin
berlibur ke tempat wisata yang populer di Tulungagung selatan, terutama pantai.
Namun apa mau dikata, hujan lebat dan angin kencang mengurungkan niat kami.
Terlalu beresiko untuk dilanjutkan. Jadilah kami di Bandung hanya silaturrahim
kemudian langsung pamit kembali ke Kota Malang pada sore harinya.
Hujan lebat mulai mereda begitu kami
sampai di sekitar Waduk Karangkates. Arah Kapanjen, masih di wilayah
Sumberpucung, kami memutuskan untuk singgah di salah satu masjid. Menjamak
takhir sholat maghrib dan isya. Masjid yang kami singgahi cukup megah dengan
beberapa menara tinggi menjulang, memiliki halaman parkir yang luas, serta
gedung sekolah yang bagus. Kami parkirkan kendaraan kami menghadap gedung
sekolah, tepat disebelah tiang bendera. Berarti halaman parkir masjid itu
berfungsi juga sebagai halaman sekolah.
Saya perhatikan tulisan besar yang
menempel di tembok gedung sekolah itu. “SMA 02 Muhammadiyah Sumberpucung” dan
lambang surya khas muhammadiyah dituliskan dengan warna dominan biru tampil
mentereng di tembok sekolah. Tidak ada yang aneh, toh cukup mafhum jika sekolah
muhammadiyah memang banyak dijumpai dimana-mana. Awalnya saya berpikiran bahwa
ini kompleks yayasan muhammadiyah, ada sekolah dan masjidnya.
Namun tunggu dulu, ada sedikit
kejanggalan manakala saya amati masjid itu. Masjid itu memiliki dominan warna
hijau, baik warna luarnya, warna keramik hingga warna karpetnya. Warna hijau
adalah warna khas Nahdlatul Ulama (walaupun tak semua masjid nahdlatul ulama
berwarna hijau). Di teras masjid terdapat bedug besar, biasanya dipukul
menjelang waktu adzan. Kok rasanya belum pernah saya menjumpai ada masjid
muhammadiyah yang memiliki bedug. Tak cukup sampai disana, saya amati struktur
kepengurusan ta’mir masjid. Rasa penasaran saya terjawab. Pada bagian kop
struktur kepengurusan masjid, tertulis jelas “Masjid Al-Ishlah PCNU Kecamatan
Sumberpucung”. Selain itu, tertampang pula kalender Majelis Maulid Riyadlul
Jannah di tembok masjid. Subhanallah, ternyata yang kami singgahi adalah masjid
NU yang tepat didepannya ada sekolah muhammadiyah. Fenomena yang jarang saya
jumpai.
Masjid Al-Ishlah dan SMA 2 Muhammadiyah dalam satu kompleks |
Diam-diam hati saya bergetar haru
mengamati masjid NU dan sekolah muhammadiyah ini berdiri berdampingan dengan
gagahnya. Serasa saya sedang diperlihatkan tokoh kharismatik kita, KH. Hasyim
Asyari dan KH. Ahmad Dahlan sedang bergandengan tangan membangun kejayaan islam
indonesia. Entah mengapa, dari dulu banyak masyarakat kita yang selalu
meributkan diri dengan persoalan khilafiyah, apalagi jika membahas NU dan
Muhammadiyah. Meributkan mana yang benar antara qunut atau tidak qunut, tarawih
8 rakaat atau 20 rakaat, dan masih banyak lagi. Membahas khilafiyah tidak akan
ada ujungnya karena masing-masing memiliki hujjah yang kuat.
Ironisnya, mendebatkan persoalan
khilafiyah selama ini justru menjadi jurang pemisah yang kuat bagi NU dan
Muhammadiyah. Seakan-akan tak lagi bisa disatukan. Apalagi bagi mereka yang
fanatik buta pada salah satunya. Akhirnya, muncul mereka yang tak mau sholat
shubuh di masjid muhammadiyah karena tak qunut, atau tak mau sholat di masjid
NU karena ada qunutnya. Sedih rasanya melihat mereka saling mencaci. Padahal
panutan kita sama, KH. Hasyim Asyari dan KH. Ahmad Dahlan adalah
ahlussunah wal jamaah sejati yang mewarisi keilmuan Rasulullah.
Fenomena bersatunya masjid NU dan
sekolah muhammadiyah ini bahasa kerennya out of the box ,
diluar dugaan, mengejutkan dan membuat kita bangga. NU yang berdakwah
melalui kultur masyarakat kecil dan muhammadiyah yang berdakwah di pendidikan
bisa bersatu padu membentuk masyarakat nusantara yang berkemajuan.
Sekarang, bukan zamannya lagi
menghabiskan energi untuk mendebatkan khilafiyah. NU dan Muhammadiyah
bersatu membentuk umat islam yang maju. Membentuk masyarakat “intelektual
religius” dan “religius intelektual”. Tak heran, jika suatu saat banyak kita
jumpai ada yang profesor atau profesor yang kyai, tentu terbentuk dari spirit
dakwah NU dan Muhammadiyah. Insya Allah….
Surabaya, 8 November 2016
sumber : https://charisfauzan.wordpress.com