Halaman

Senin, 22 Mei 2017

Bersatunya Masjid NU dan Sekolah Muhammadiyah.

Bersatunya Masjid NU dan Sekolah Muhammadiyah.
Beberapa hari lalu, cuaca buruk mengiringi perjalanan kami dari Bandung menuju Kota Malang. Bukan Bandung Jawa Barat yang kami maksud, lebih tepatnya Kecamatan Bandung, Tulungagung. Kebetulan kami memiliki kawan baik yang tinggal di Bandung, Tulungagung. Bolehlah mampir sejenak untuk bersilaturrahim, walau tujuan kami sebenarnya ingin berlibur ke tempat wisata yang populer di Tulungagung selatan, terutama pantai. Namun apa mau dikata, hujan lebat dan angin kencang mengurungkan niat kami. Terlalu beresiko untuk dilanjutkan. Jadilah kami di Bandung hanya silaturrahim kemudian langsung pamit kembali ke Kota Malang pada sore harinya.

 
Hujan lebat mulai mereda begitu kami sampai di sekitar Waduk Karangkates. Arah Kapanjen, masih di wilayah Sumberpucung, kami memutuskan untuk singgah di salah satu masjid. Menjamak takhir sholat maghrib dan isya. Masjid yang kami singgahi cukup megah dengan beberapa menara tinggi menjulang, memiliki halaman parkir yang luas, serta gedung sekolah yang bagus. Kami parkirkan kendaraan kami menghadap gedung sekolah, tepat disebelah tiang bendera. Berarti halaman parkir masjid itu berfungsi juga sebagai halaman sekolah.
Saya perhatikan tulisan besar yang menempel di tembok gedung sekolah itu. “SMA 02 Muhammadiyah Sumberpucung” dan lambang surya khas muhammadiyah dituliskan dengan warna dominan biru tampil mentereng di tembok sekolah. Tidak ada yang aneh, toh cukup mafhum jika sekolah muhammadiyah memang banyak dijumpai dimana-mana. Awalnya saya berpikiran bahwa ini kompleks yayasan muhammadiyah, ada sekolah dan masjidnya.
Namun tunggu dulu, ada sedikit kejanggalan manakala saya amati masjid itu. Masjid itu memiliki dominan warna hijau, baik warna luarnya, warna keramik hingga warna karpetnya. Warna hijau adalah warna khas Nahdlatul Ulama (walaupun tak semua masjid nahdlatul ulama berwarna hijau). Di teras masjid terdapat bedug besar, biasanya dipukul menjelang waktu adzan. Kok rasanya belum pernah saya menjumpai ada masjid muhammadiyah yang memiliki bedug. Tak cukup sampai disana, saya amati struktur kepengurusan ta’mir masjid. Rasa penasaran saya terjawab. Pada bagian kop struktur kepengurusan masjid, tertulis jelas “Masjid Al-Ishlah PCNU Kecamatan Sumberpucung”. Selain itu, tertampang pula kalender Majelis Maulid Riyadlul Jannah di tembok masjid. Subhanallah, ternyata yang kami singgahi adalah masjid NU yang tepat didepannya ada sekolah muhammadiyah. Fenomena yang jarang saya jumpai.
Masjid Al-Ishlah dan SMA 2 Muhammadiyah dalam satu kompleks

Diam-diam hati saya bergetar haru mengamati masjid NU dan sekolah muhammadiyah ini berdiri berdampingan dengan gagahnya. Serasa saya sedang diperlihatkan tokoh kharismatik kita, KH. Hasyim Asyari dan KH. Ahmad Dahlan sedang bergandengan tangan membangun kejayaan islam indonesia. Entah mengapa, dari dulu banyak masyarakat kita yang selalu meributkan diri dengan persoalan khilafiyah, apalagi jika membahas NU dan Muhammadiyah. Meributkan mana yang benar antara qunut atau tidak qunut, tarawih 8 rakaat atau 20 rakaat, dan masih banyak lagi. Membahas khilafiyah tidak akan ada ujungnya karena masing-masing memiliki hujjah yang kuat.
Ironisnya, mendebatkan persoalan khilafiyah selama ini justru menjadi jurang pemisah yang kuat bagi NU dan Muhammadiyah. Seakan-akan tak lagi bisa disatukan. Apalagi bagi mereka yang fanatik buta pada salah satunya. Akhirnya, muncul mereka yang tak mau sholat shubuh di masjid muhammadiyah karena tak qunut, atau tak mau sholat di masjid NU karena ada qunutnya. Sedih rasanya melihat mereka saling mencaci. Padahal panutan kita sama, KH. Hasyim Asyari dan KH. Ahmad Dahlan adalah ahlussunah wal jamaah sejati yang mewarisi keilmuan Rasulullah.
Fenomena bersatunya masjid NU dan sekolah muhammadiyah ini bahasa kerennya out of the box , diluar dugaan, mengejutkan dan membuat kita bangga. NU yang berdakwah melalui kultur masyarakat kecil dan muhammadiyah yang berdakwah di pendidikan bisa bersatu padu membentuk masyarakat nusantara yang berkemajuan.
Sekarang, bukan zamannya lagi menghabiskan energi untuk mendebatkan khilafiyah. NU dan Muhammadiyah bersatu membentuk umat islam yang maju. Membentuk masyarakat “intelektual religius” dan “religius intelektual”. Tak heran, jika suatu saat banyak kita jumpai ada yang profesor atau profesor yang kyai, tentu terbentuk dari spirit dakwah NU dan Muhammadiyah. Insya Allah….
Surabaya, 8 November 2016
sumber : https://charisfauzan.wordpress.com